Tuesday, July 9, 2013

Generasi Peperangan

Para analis perang Amerika merumuskan karakteristik peperangan yang terjadi di dunia sesuai perkembangannya dari masa ke masa. Sampai dengan saat ini mereka mengelompokkan perkembangan karakteristik peperangan tersebut menjadi empat kelompok dikenal dengan istilah The Four Generation of War[1] (Empat Generasi Peperangan). Peperangan Generasi I dimulai sejak sekitar tahun 1648 seiring dengan peristiwa diperolehnya kedaulatan oleh Jerman sebagai sebuah negara sekaligus mengakhiri “Perang 30 Tahun” yang terjadi antara negara-negara di kawasan Eropa. Perang 30 Tahun tersebut merupakan suatu perang yang sangat carut marut namun pada dasarnya dilatar-belakangi oleh konflik antara kelompok penganut Katolik dengan Protestan[2]. Sejak peristiwa diperolehnya kedaulatan oleh Jerman tersebut maka peperangan mulai dianggap sebagai salah satu cara bagi suatu negara untuk mencapai kepentingannya setelah sebelumnya setiap peperangan selalu berlatar belakang kepentingan agama. Ciri-ciri peperangan generasi I adalah adanya penentuan medan/wilayah perang dengan batas-batas tertentu (garis batas kiri/kanan dan depan/belakang) dan digunakannya musket (senapan api sederhana) yang selanjutnya dikombinasikan dengan senjata tajam seperti panah, sangkur dan lain-lain sampai pada pengembangannya menjadi senjata mesin.[3]
Peperangan Generasi II muncul seiring meletusnya Perang Dunia I. Pada era tersebut peperangan ditandai dengan penggunaan taktik yang mengkombinasikan kemampuan bergerak dan tembakan langsung. Peperangan Generasi II juga diwarnai dengan dimulainya penggunaan kemampuan tembakan tidak langsung, digunakannya taktik tertentu termasuk penggunaan pakaian /seragam. Pada periode Perang Dunia I ini juga terjadi suatu peralihan generasi perang sehingga dianggap sebagai dimulainya era Peperangan Generasi III ditandai dengan mulai digunakannya taktik inflitrasi dengan pasukan kecil sebagai suatu cara baru dalam menghancurkan pasukan musuh selain taktik lama yang mengerahkan pasukan besar untuk mendekati dan menghancurkan musuh.[4]
Peperangan Generasi III ini juga ditandai dengan penggunaan taktik penghancuran kekuatan musuh dari arah belakang atau samping kedudukan musuh seperti yang dilakukan oleh Jerman pada saat berperang melawan Inggris dan Perancis pada awal masa Perang Dunia II.  Penggunaan keunggulan pada aspek dan kecepatan bergerak inilah yang kemudian memicu semakin berkembangnya tipe peperangan ini III walaupun aspek yang dijadikan sebagai sasarannya masih tetap yaitu  kekuatan militer musuh dan sasaran musuh yang berada lingkungan pemukiman penduduk. Seiring dengan itu berkembang pula pelibatan kelompok insurjen atau kelompok tertentu yang bertindak bukan atas nama negara dalam suatu peperangan disamping kekuatan militer. Adanya pelibatan kekuatan insurjen / kelompok tertentu inilah yang menjadi tanda dimulainya peperangan type baru.
Peperangan Generasi IV mulai dikenal sejak tahun 1989,  dipicu oleh mulai terlibatnya kelompok insurjen atau kelompok tertentu yang bertindak bukan atas nama negara (non state actors) dalam suatu peperangan. Kelompok-kelompok tersebut sebenarnya merupakan suatu bagian dari sebuah negara namun perjuangan mereka memiliki tujuan yang unik yaitu merorongrong hingga meruntuhkan suatu kekuatan negara musuh atau bahkan menjadikan negaranya sendiri sebagai sasaran. Peperangan Generasi IV adalah peperangan dengan ciri adanya ketidak-jelasan dalam hal batasan antara konflik idiologi, politik, ekonomi dengan perang itu sendiri bahkan batasan antara militer (kombatan) dan penduduk sipil (non kombatan).  Tipe peperangan ini sering terjadi di suatu negara berkembang yang ditandai dengan terjadinya perang saudara atau antara suatu negara dengan kelompok yang ingin mendirikan negara sendiri.  Peperangan generasi IV juga mulai berkembang dengan munculnya istilah asymetrics warfare yang mendeskripsikan suatu keadaan konflik / peperangan yang terjadi antara pihak yang sangat berbeda dalam cara-cara melakukan peperangannya. Konflik yang terjadi bersifat kompleks, melebar dalam jangka waktu yang relatif lama.  Aksi insurjensi, terror dan gerilya merupakan salah satu bentuk taktik peperangan yang biasanya dilancarkan oleh pihak dengan memiliki kekuatan kecil dalam melawan musuh yang kuat dan besar. Aksi-aksi tersebut juga memanfaatkan keunggulan teknologi informasi dan komunikasi.  Manipulasi informasi dan media massa juga merupakan salah satu strategi yang digunakan pada peperangan generasi IV ini.[5]



[1] William S Lind, Understanding Fourth Generation War, Military Review September-October 2004, http://www.au.af.mil/au/awc/awcgate/milreview/lind.pdf
[2] Konrad Repgen, 'Negotiating the Peace of Westphalia: A Survey with an Examination of the Major Problems', In: 1648: War and Peace in Europe: 3 vols. (Catalogue of the 26th exhibition of the Council of Europe, on the Peace of Westphalia), Klaus Bußmann and Heinz Schilling (eds.) on behalf of the Veranstaltungsgesellschaft 350 Jahre Westfälischer Friede, Münster and Osnabrück: no publ., 1998, 'Essay Volume 1: Politics, Religion, Law and Society', pp. 355-372, here pp. 355seq.
[3] William S Lind, Understanding Fourth Generation War, Military Review September-October 2004, http://www.au.af.mil/au/awc/awcgate/milreview/lind.pdf
[4] Ibid
[5] Ibid

Apakah hybrid Warfare itu?

MEMAHAMI HYBRID WARFARE.

 Jill R. Aitoro seorang analis perang berkebangsaan Amerika pada tulisannya yang berjudul “Defense Lack Doctrine to Guide it Through Cyber Warfare” menyatakan bahwa “ Current dan future adversary are likely to rely more on a blending of conventional and irregular approaches to conflict, which they referred to as hybrid warfare” [1]   Pendapat Jill tentang hybrid warfare terlihat mengarahkan pemahaman kita tentang hybrid warfare kepada  sistem dan metode yang digunakan dalam peperangan. Dia menjelaskan bahwa sistem dan metoda hybrid warfare adalah menggabungkan sistem dan metode perang konvensional dengan non konvensional.
Elizabeth Montalbano seorang penulis Amerika menyatakan bahwa “The United States is likely to have adversaries practicing "hybrid warfare" tactics, which will include attacks on computer networks and other forms of technology, more commonly known as cyber-attacks or cyber warfare…… The term is used to describe not just cyber-attacks, but also attacks by biological, nuclear, radiological, and chemical weapons; improvised explosive devices; and information and media manipulation, among other forms of attacks.[2]  Elizabeth terlihat lebih menekankan pemahaman hybrid warfare kepada adanya penggunaan jaringan komputer termasuk cara-cara memanipulasi media massa dan informasi sebagai cara melakukan peperangan. Lebih jauh dia menambahkan bahwa hybrid warfare juga melibatkan penggunaan senjata nuklir, biologi, kimia dan senjata radiologi yang dipadukan dengan penggunaan bahan peledak
Bill Nemeth, seorang mantan Perwira Menengah Marinir Amerika mendefinisikan hybrid warfare sebagai: “the contemporary form of guerrilla warfare” that “employs both modern technology and modern mobilization methods.”[3]  Pendapat Bill tentang hybrid warfare lebih mengarah kepada pemahaman bahwa peperangan tersebut adalah bentuk perang gerilya yang kontemporer dan menggunakan teknologi dan sistem mobilisasi kekuatan yang modern. Sistem mobilisasi kekuatan yang modern dapat diartikan sebagai penggunaan kekuatan bersenjata baik reguler sebagai bagian dari suatu negara yang digabungkan dengan kekuatan non reguler / milisi (non state actor). 
Jack McCuen, seorang kolonel pensiunan Angkatan Darat Amerika mendefinisikan hybrid warfare sebagai “the focus of activity of asymmetric warfare, fought on three decisive battlegrounds: (1) within the conflict zone population; (2) home front population; and (3) international community”[4] Jack terlihat lebih memfokuskan pemahamannya kepada lingkup peperangan. Dia menjelaskan bahwa peperangan tersebut dilakukan dalam 3 jenis medan perang yang mendalam yaitu (1) Medan dimana orang-orang terlibat langsung dalam konflik (2) Wilayah yang lebih luas/lebar dimana orang-orang tersebut tinggal/menetap (3) lingkungan internasional. Pemahaman Jack memberikan penjelasan bahwa hybrid warfare ternyata menggunakan setiap tempat / media sebagai medan peperangan.
David Kilcullen penulis buku berjudul “The Accidental Guerrilla” menyatakan bahwa “hybrid warfare is the best explanation for modern conflicts, but highlights that it includes a combination of irregular warfare, civil warinsurgency and terrorism[5] . Pendapat David memperkaya pemahaman kita tentang aksi-aksi yang dilakukan dalam hybrid warfare. Dia menambahkan bahwa aksi insurjensi, perang saudara dan aksi terorisme sebagai salah satu metode yang dilakukan oleh pelaku hybrid warfare.
Frank G. Hoffman seorang wartawan Amerika mendefinisikan hybrid warfare sebagai “any enemy that uses simultaneous and adaptive employment of a complex combination of conventional weapons, irregular warfare, terrorism and criminal behaviour in the battle space to achieve political objectives” [6]  Pemahaman Frank lebih menjelaskan apa yang dimaksud dengan hybrid warfare. Frank menjelaskan bahwa karakteristik hybrid warfare adalah suatu bentuk perlawanan yang dilakukan secara berkepanjangan, penggunaan suatu kekuatan yang bersifat mendalam yang merupakan penggabungan antara sistem konvensional, non konvensional, aksi terror dan aksi kriminal dalam suatu medan peperangan untuk mencapai suatu kepentingan politis. Dibanding penulis yang lain, Frank menambahkan aksi kriminal termasuk sebagai salah satu cara yang dilakukan dalam hybrid warfare



[1] Jill J Aioro, Defense Lacks Doctrine to guide it through Cyberwarfare, 13 September 2010, http://www.nextgov.com/defense/2010/09/defense-lacks-doctrine-to-guide-it-through-cyberwarfare/47575/
[2] Elizabeth Montabalno, Auditor Find Dod Hasn’t Defined Cyber Warfare, September 2010,  http://www.informationweek.com/government/security/auditors-find-dod-hasnt-defined-cyber-wa/227400359
[3] Frank G Hoffman, Hybrid vs compound war, http://www.armedforcesjournal.com/2009/10/4198658/
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid