Thursday, October 3, 2013

Fenomena Cabut Pentil

Akhir akhir ini banyak media massa yang menampilkan issu " kebijakan cabut pentil" yang diterapkan oleh pemerintah provinsi Jakarta terhadap kendaraan bermotor yang "diparkir sembarangan". Beberapa berita di media massa menunjukkan fakta bahwa kebijakan tersebut ternyata bukan hanya isapan jempol tetapi betul betul diterapkan.
Yang membuat saya tertarik untuk menulis tentang fenomena ini adalah karena saya belum menemukan bagaimana sebenarnya pola berpikir / alur berpikir para penyusun kebijakan tersebut. Koq bisa-bisanya sampai kepada keputusan bahwa cabut pentil merupakan kebijakan yang ampuh untuk menertibkan permasalahan parkir sembarangan  di Jakarta.
  Sepengamatan saya para pengemudi yang sembarangan memarkir kendaraannya  di Jakarta ( bahkan di kota kota lainnya) setidaknya dilatar belakangi / disebabkan oleh 3 ( tiga kondisi) yaitu: 
1) Pengemudi sebenarnya tidak mau parkir sembarangan tetapi terpaksa sembarangan karena tidak tersedia tempat parkir di sekitar lokasi tersebut.
2) Pengemudi sebenarnya tidak mau parkir sembarangan tetapi  "petugas parkir illegal" mengarahkan untuk parkir di lokasi yang sebenarnya bukan tempat parkir.
3)  Pengemudi yang memang memarkir kendaraannya secara sembarangan karena sama sekali tidak mengindahkan aturan/arahan yang berlaku

Dengan demikian maka sebenarnya jelas terlihat bahwa 66,6% penyebab parkir sembarangan bukan murni karena kesalahan pengemudi tetapi karena memang tidak ada tempat parkir dan adanya "petugas parkir illegal". 2/3 pelanggaran parkir yang sumber penyebabnya pengemudi hanya 1/3.  

Dengan kata lain kebijakan " cabut pentil" sebenarnya hanya diarahkan kepada 1/3 permasalahan pelanggaran parkir. Itupun masih perlu dipikir lebih jauh untuk menjawab pertanyaan apakah dengan cabut pentil dapat menyelesaikan masalah atau bahkan menimbulkan permasalahan baru? Bukankan masalah yang lebih besar adalah dsebabkan oleh kurangnya lahan parkir dan bermunculannya petugas parkir illegal....?

Saya dipahamkan bahwa banyak  ilmu pengetahuan tentang  problem solving yang mengajarkan kepada kita untuk menilai / merumuskan masalah sebenarnya dengan cara membandingkan faktor penyebab apa yang lebih dominan. Setelah diketahui maka itulah  masalah yang dihadapi. Baru kemudian dirumuskan upaya upaya mengatasinya secara proporsional dengan memperhatikan aza prioritas. Maksud  saya adalah akan lebih bijak kalau pemerintah Jakarta lebih mengutamakan berbagai upaya untuk menata / menyiapkan lahan parkir dengan kapasitas yang memadai sekaligus menertibkan para petugas parkir illegal ( karena itulah masalah sebenarnya yang dihadapi ) daripada menerapkan kebijakan "cabut pentil"  karena masalah terlihat tidak dominan dan banyak pihak yang menilai justru akan menimbulkan masalah baru seperti lalu lintas akan semakin macetnya karena banyaknya kendaraan yang tidak bisa bergerak, bermunculannya penjual jasa pompa ban kagetan di trotoar, dan lain-lain.....

Tetapi saya juga ma'lum , bisa jadi "kebijakan cabut pentil" tersebut muncul karena ruwetnya urusan parkir sehingga timbul kebingungan di kalangan pemerintah terkait selain itu memang lebih mudah, lebih ringan dan lebih nikmat untuk menerima setoran uang parkir daripada menertibkan parkirnya itu sendiri.... her he he he he he heh eh

Tuesday, July 9, 2013

Generasi Peperangan

Para analis perang Amerika merumuskan karakteristik peperangan yang terjadi di dunia sesuai perkembangannya dari masa ke masa. Sampai dengan saat ini mereka mengelompokkan perkembangan karakteristik peperangan tersebut menjadi empat kelompok dikenal dengan istilah The Four Generation of War[1] (Empat Generasi Peperangan). Peperangan Generasi I dimulai sejak sekitar tahun 1648 seiring dengan peristiwa diperolehnya kedaulatan oleh Jerman sebagai sebuah negara sekaligus mengakhiri “Perang 30 Tahun” yang terjadi antara negara-negara di kawasan Eropa. Perang 30 Tahun tersebut merupakan suatu perang yang sangat carut marut namun pada dasarnya dilatar-belakangi oleh konflik antara kelompok penganut Katolik dengan Protestan[2]. Sejak peristiwa diperolehnya kedaulatan oleh Jerman tersebut maka peperangan mulai dianggap sebagai salah satu cara bagi suatu negara untuk mencapai kepentingannya setelah sebelumnya setiap peperangan selalu berlatar belakang kepentingan agama. Ciri-ciri peperangan generasi I adalah adanya penentuan medan/wilayah perang dengan batas-batas tertentu (garis batas kiri/kanan dan depan/belakang) dan digunakannya musket (senapan api sederhana) yang selanjutnya dikombinasikan dengan senjata tajam seperti panah, sangkur dan lain-lain sampai pada pengembangannya menjadi senjata mesin.[3]
Peperangan Generasi II muncul seiring meletusnya Perang Dunia I. Pada era tersebut peperangan ditandai dengan penggunaan taktik yang mengkombinasikan kemampuan bergerak dan tembakan langsung. Peperangan Generasi II juga diwarnai dengan dimulainya penggunaan kemampuan tembakan tidak langsung, digunakannya taktik tertentu termasuk penggunaan pakaian /seragam. Pada periode Perang Dunia I ini juga terjadi suatu peralihan generasi perang sehingga dianggap sebagai dimulainya era Peperangan Generasi III ditandai dengan mulai digunakannya taktik inflitrasi dengan pasukan kecil sebagai suatu cara baru dalam menghancurkan pasukan musuh selain taktik lama yang mengerahkan pasukan besar untuk mendekati dan menghancurkan musuh.[4]
Peperangan Generasi III ini juga ditandai dengan penggunaan taktik penghancuran kekuatan musuh dari arah belakang atau samping kedudukan musuh seperti yang dilakukan oleh Jerman pada saat berperang melawan Inggris dan Perancis pada awal masa Perang Dunia II.  Penggunaan keunggulan pada aspek dan kecepatan bergerak inilah yang kemudian memicu semakin berkembangnya tipe peperangan ini III walaupun aspek yang dijadikan sebagai sasarannya masih tetap yaitu  kekuatan militer musuh dan sasaran musuh yang berada lingkungan pemukiman penduduk. Seiring dengan itu berkembang pula pelibatan kelompok insurjen atau kelompok tertentu yang bertindak bukan atas nama negara dalam suatu peperangan disamping kekuatan militer. Adanya pelibatan kekuatan insurjen / kelompok tertentu inilah yang menjadi tanda dimulainya peperangan type baru.
Peperangan Generasi IV mulai dikenal sejak tahun 1989,  dipicu oleh mulai terlibatnya kelompok insurjen atau kelompok tertentu yang bertindak bukan atas nama negara (non state actors) dalam suatu peperangan. Kelompok-kelompok tersebut sebenarnya merupakan suatu bagian dari sebuah negara namun perjuangan mereka memiliki tujuan yang unik yaitu merorongrong hingga meruntuhkan suatu kekuatan negara musuh atau bahkan menjadikan negaranya sendiri sebagai sasaran. Peperangan Generasi IV adalah peperangan dengan ciri adanya ketidak-jelasan dalam hal batasan antara konflik idiologi, politik, ekonomi dengan perang itu sendiri bahkan batasan antara militer (kombatan) dan penduduk sipil (non kombatan).  Tipe peperangan ini sering terjadi di suatu negara berkembang yang ditandai dengan terjadinya perang saudara atau antara suatu negara dengan kelompok yang ingin mendirikan negara sendiri.  Peperangan generasi IV juga mulai berkembang dengan munculnya istilah asymetrics warfare yang mendeskripsikan suatu keadaan konflik / peperangan yang terjadi antara pihak yang sangat berbeda dalam cara-cara melakukan peperangannya. Konflik yang terjadi bersifat kompleks, melebar dalam jangka waktu yang relatif lama.  Aksi insurjensi, terror dan gerilya merupakan salah satu bentuk taktik peperangan yang biasanya dilancarkan oleh pihak dengan memiliki kekuatan kecil dalam melawan musuh yang kuat dan besar. Aksi-aksi tersebut juga memanfaatkan keunggulan teknologi informasi dan komunikasi.  Manipulasi informasi dan media massa juga merupakan salah satu strategi yang digunakan pada peperangan generasi IV ini.[5]



[1] William S Lind, Understanding Fourth Generation War, Military Review September-October 2004, http://www.au.af.mil/au/awc/awcgate/milreview/lind.pdf
[2] Konrad Repgen, 'Negotiating the Peace of Westphalia: A Survey with an Examination of the Major Problems', In: 1648: War and Peace in Europe: 3 vols. (Catalogue of the 26th exhibition of the Council of Europe, on the Peace of Westphalia), Klaus Bußmann and Heinz Schilling (eds.) on behalf of the Veranstaltungsgesellschaft 350 Jahre Westfälischer Friede, Münster and Osnabrück: no publ., 1998, 'Essay Volume 1: Politics, Religion, Law and Society', pp. 355-372, here pp. 355seq.
[3] William S Lind, Understanding Fourth Generation War, Military Review September-October 2004, http://www.au.af.mil/au/awc/awcgate/milreview/lind.pdf
[4] Ibid
[5] Ibid

Apakah hybrid Warfare itu?

MEMAHAMI HYBRID WARFARE.

 Jill R. Aitoro seorang analis perang berkebangsaan Amerika pada tulisannya yang berjudul “Defense Lack Doctrine to Guide it Through Cyber Warfare” menyatakan bahwa “ Current dan future adversary are likely to rely more on a blending of conventional and irregular approaches to conflict, which they referred to as hybrid warfare” [1]   Pendapat Jill tentang hybrid warfare terlihat mengarahkan pemahaman kita tentang hybrid warfare kepada  sistem dan metode yang digunakan dalam peperangan. Dia menjelaskan bahwa sistem dan metoda hybrid warfare adalah menggabungkan sistem dan metode perang konvensional dengan non konvensional.
Elizabeth Montalbano seorang penulis Amerika menyatakan bahwa “The United States is likely to have adversaries practicing "hybrid warfare" tactics, which will include attacks on computer networks and other forms of technology, more commonly known as cyber-attacks or cyber warfare…… The term is used to describe not just cyber-attacks, but also attacks by biological, nuclear, radiological, and chemical weapons; improvised explosive devices; and information and media manipulation, among other forms of attacks.[2]  Elizabeth terlihat lebih menekankan pemahaman hybrid warfare kepada adanya penggunaan jaringan komputer termasuk cara-cara memanipulasi media massa dan informasi sebagai cara melakukan peperangan. Lebih jauh dia menambahkan bahwa hybrid warfare juga melibatkan penggunaan senjata nuklir, biologi, kimia dan senjata radiologi yang dipadukan dengan penggunaan bahan peledak
Bill Nemeth, seorang mantan Perwira Menengah Marinir Amerika mendefinisikan hybrid warfare sebagai: “the contemporary form of guerrilla warfare” that “employs both modern technology and modern mobilization methods.”[3]  Pendapat Bill tentang hybrid warfare lebih mengarah kepada pemahaman bahwa peperangan tersebut adalah bentuk perang gerilya yang kontemporer dan menggunakan teknologi dan sistem mobilisasi kekuatan yang modern. Sistem mobilisasi kekuatan yang modern dapat diartikan sebagai penggunaan kekuatan bersenjata baik reguler sebagai bagian dari suatu negara yang digabungkan dengan kekuatan non reguler / milisi (non state actor). 
Jack McCuen, seorang kolonel pensiunan Angkatan Darat Amerika mendefinisikan hybrid warfare sebagai “the focus of activity of asymmetric warfare, fought on three decisive battlegrounds: (1) within the conflict zone population; (2) home front population; and (3) international community”[4] Jack terlihat lebih memfokuskan pemahamannya kepada lingkup peperangan. Dia menjelaskan bahwa peperangan tersebut dilakukan dalam 3 jenis medan perang yang mendalam yaitu (1) Medan dimana orang-orang terlibat langsung dalam konflik (2) Wilayah yang lebih luas/lebar dimana orang-orang tersebut tinggal/menetap (3) lingkungan internasional. Pemahaman Jack memberikan penjelasan bahwa hybrid warfare ternyata menggunakan setiap tempat / media sebagai medan peperangan.
David Kilcullen penulis buku berjudul “The Accidental Guerrilla” menyatakan bahwa “hybrid warfare is the best explanation for modern conflicts, but highlights that it includes a combination of irregular warfare, civil warinsurgency and terrorism[5] . Pendapat David memperkaya pemahaman kita tentang aksi-aksi yang dilakukan dalam hybrid warfare. Dia menambahkan bahwa aksi insurjensi, perang saudara dan aksi terorisme sebagai salah satu metode yang dilakukan oleh pelaku hybrid warfare.
Frank G. Hoffman seorang wartawan Amerika mendefinisikan hybrid warfare sebagai “any enemy that uses simultaneous and adaptive employment of a complex combination of conventional weapons, irregular warfare, terrorism and criminal behaviour in the battle space to achieve political objectives” [6]  Pemahaman Frank lebih menjelaskan apa yang dimaksud dengan hybrid warfare. Frank menjelaskan bahwa karakteristik hybrid warfare adalah suatu bentuk perlawanan yang dilakukan secara berkepanjangan, penggunaan suatu kekuatan yang bersifat mendalam yang merupakan penggabungan antara sistem konvensional, non konvensional, aksi terror dan aksi kriminal dalam suatu medan peperangan untuk mencapai suatu kepentingan politis. Dibanding penulis yang lain, Frank menambahkan aksi kriminal termasuk sebagai salah satu cara yang dilakukan dalam hybrid warfare



[1] Jill J Aioro, Defense Lacks Doctrine to guide it through Cyberwarfare, 13 September 2010, http://www.nextgov.com/defense/2010/09/defense-lacks-doctrine-to-guide-it-through-cyberwarfare/47575/
[2] Elizabeth Montabalno, Auditor Find Dod Hasn’t Defined Cyber Warfare, September 2010,  http://www.informationweek.com/government/security/auditors-find-dod-hasnt-defined-cyber-wa/227400359
[3] Frank G Hoffman, Hybrid vs compound war, http://www.armedforcesjournal.com/2009/10/4198658/
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid

Tuesday, March 5, 2013

Prakata




Bismillahirohmannirrohiim. Hari ini saya memulai menggunakan fasilitas blogg.  Maksud dan tujuan saya menggunakan fasilitas komunikasi ini adalah:
Pertama, fasilitas ini saya nilai sangat berguna untuk menjalin komunikasi dengan sesama, untuk menjalin pertemanan, persahabatan dan pesaudaraan sehingga saya dapat meluaskan silaturahmi.
Kedua, Saya ingin proses dan metode belajar yang saya lakukan semakin luas.  Saya menganggap fasilitas ini dapat dijadikan sebagai sarana bagi saya untuk mengutarakan ide, gagasan dan lain-lain yang ada dalam pikiran saya, sehingga saya bisa mendapat berbagai input.  Dalam hal menyampaikan sesuatu yang ada dalam pikiran saya, saya harus berusaha agar hal tersebut tidak bersifat ofensif kepada siapapun,  sebaliknya dalam menerima input, saya harus dapat menerima segala macam input tersebut sebagai asset yang sangat berharga bagi saya.
Ketiga, Saya ingin berbagi dengan semua pihak. Saya berharap data yang saya simpan dalam fasilitas ini dapat berguna bagi semua terutama bagi istri dan anak-anak saya tercinta.
Semoga kita semua selalu dalam lindunganNya dan semoga maksud dan tujuan saya ini mendapat ridho dari Nya. Amiin. 

Monday, March 4, 2013

Pelajaran dari riwayat kelahiran dan pemberian nama


Nama lengkap saya Henra Hari Sutaryo. Lahir di Sumedang tanggal 27 Januari 1966, Bapak: Sutaryo, Ibu: Yayah Sariyamah. Pada akte kelahiran memang tertulis Henra ( tanpa huruf  "d" antara n dan "r" .Nama ini mungkin terkesan tidak biasa karena kebanyakan orang memakai nama "Hendra" . 
Pada awalnya saya beranggapan telah terjadi mistyping (salah ketik) saat menuliskan nama pada akte kelahiran. Belakang, setelah diberitahu oleh Bapak baru saya tahu bahwa pemberian nama Henra tersebut dilatar belakangi oleh suatu perhitungan orang tua jaman itu. Perhitungan yang dimaksud kira kira adalah dengan menghubungkan tanggal kelahiran saya dengan alfabet sunda kuno. Menurut penjelasan bapak, Saya dilahirkan tanggal 5 pada kalender Hijriah. Nah kemudian angka 5 tersebut dihubungkan dengan alfabet sunda kuno ( ha, na , ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, da, ja, ya, nya, ma, ga, ba, ta, nga)... Kemudian beliau memilih huruf Ha yang diartikan berjumlah 1 dan Ra yang diartikan berjumlah 4 , Jadi ketemulah rangkaian Ha dan Ra = 1 + 4 = 5. Maka jadilah nama Henra. Nama kepanjang “Hari “masih konsisten dengan perhitungan 1 + 4 tersebut. Sampai sekarang saya belum tahu kenapa bapak saya tidak memilih penjumlahan angka dengan variasi lainnya, ( misalnya 3 + 2 ( Ca + Na) atau 2 + 3 (Na + Ca)………
Nama Sutaryo pada nama saya sudah tentu diambil dari nama bapak saya. Kebetulan saya adalah anak ke empat dari 6 bersaudara dan anak laki laki satu satunya mungkin dengan pertimbangan itulah nama bapak saya dijadikan sebagai nama kepanjangan saya. ( Nama saudara sekandung tidak ada yang memakai nama Sutaryo). Selain itu sehari hari saya dipanggil “Ujang” oleh Bapak, Ibu, adik maupun kakak. ( sampai sekarang saya masih dipanggil “Ujang”). Ujang memang nama panggilan masyarakat Sunda kepada anak laki-laki.  
Ibu saya pernah menjelaskan suatu riwayat pemberian nama dari sisi lain. Aki Haji Musa ( Bapak angkat ibu saya) rupanya  juga menyiapkan nama kepada saya. Nama yang beliau siapkan adalah “Harun Alrasheed” . Saya masih ingat , pada masa kecil dulu apabila saya bertemu dengan Aki Haji Musa maka beliau selalu memanggil saya Harun……. ( Harun bisa dihitung sebagai 1 + 4 juga). Mungkin Aki Haji Musa sangat terkesan oleh kejayaan salah seorang raja Arab pada masa lalu sehingga nama tersebut disiapkan sebagai nama saya dengan maksud agar saya bisa sesukses / sejaya Baginda Harun Alrasheed salah seorang raja yang terkenal dari jazirah Arab tersebut. Amiiinnn. Selain itu ibu sayapun menjelaskan bahwa saya dilahirkan pada hari Jumat (sekitar pukul 09.00 . Menurut beliau,  pagi itu turun hujan namun menjelang siang cuaca berangsur angsur cerah maka terlihatlah “katumbiri” ( bhs Indonesia = “pelangi” ). Setelah melihat katumbiri itulah beliau merasakan kontraksi kehamilan kemudian beliau dibawa ke RSU Sumedang untuk melahirkan saya.  
Mungkin saat ini riwayat kelahiran dan proses pemberian nama kepada seseorang anak yang baru lahir kurang banyak diperhatikan walaupun bagaimana itulah versi yang saya ketahui tentang riwayat / peristiwa kelahiran dan pemberian nama saya.  Pelajaran yang saya bisa petik dari riwayat tersebut adalah:
1.                  Bahwa ternyata sangat indah bila kita mengetahui bagaimana proses kita dilahirkan dan proses pemberian nama kepada kita.
2.                  Riwayat tersebut memberikan gambaran kepada  kita betapa dengan penuh pengorbanan dan kasih sayang orang tua kita mengurus kita bahkan sejak  kita masih dalam kandungan ibunda tersayang.
3.                  Mengingatkan kepada kita semua sebagai anak untuk selalu menghormati, dan menyayangi kedua orang tua kita, sebagaimana mereka menyayangi kita di masa kecil. Subhanallah…………………
4.                  Doa dan harapan orang tua kepada kita adalah sebagai pedoman dan kekuatan bagi kita dalam menjalani hidup.
5.                  Keinginan dan harapan setiap orang tua kepada kita anak anaknya adalah: Menjadi anak yang  shaleh / shalihah , berbakti kepada kedua orang tua, anak yang selalu mendoakan, membahagiakan, menyayangi orang tuanya.
6.                  Menyakiti bapak / ibu adalah benar benar perbuatan anak yang tidak tahu diri………